Jumat, 22 Juni 2012

KHUTBAH JUMAH “APA YANG INGIN KITA WARISKAN UNTUK ANAK CUCU KITA?”

DI MASJID NURUL JANNAH LOA JANAN ULU
JUMAT, 8 JUNI 2012 dan MASJID AL-IKHLAS LOA DURI, JUMAT, 22 JUNI 2012
Oleh: Dalyana, S,Pd., M.Pd.

A.    PENDAHULUAN

Alhamdulillah…..
uji dan syukur…..
Sholawat dan salam….
Marilah kita tingkatkan iman dan taqwa……

B.     ISI KHUTBAH


Hadirin Jamaah Jumah, rohiemakumulloh!


Pernahkah kita membayangkan, saat hidup kita tidak lama lagi akan berakhir? Ketika badan kita sedang sudah terbujur di pembaringan, menunggu malaikat maut datang menjemput? Ketika nafas kita sudah tersengal – sengat, tinggal satu-satu? Sata anak, isteri,  para saudara dan handai taulan telah berkumpul mengelilingi kita, dengan perasaan sedih dan harap – harap cemas?

Apa kira-kira yang ingin kita tanyakan kepada mereka sebagai pesan kita yang terakhir untuk mereka? Apakah pesan tentang pembagian harta warisan untuk mereka? Ataukah pesan - pesan tentang hal – hal yang terkait dengan kesenangan dunia yang fana lainnya? Ataukah pesan – pesan tentang, hal – hal yang terkait dengan kehidupan akhirat yang kekal nan abadi?

Hadirin Jamaah Jumah, rohiemakumulloh!

Sekedar mengingatkan dan diharapkan bisa menjadi teladan bagi kita, bagaimana sepenggal kisah Nabi Ya’qub Alaihissalam ketika mengalami saat – saat seperti itu?
Kisah itu telah Allah Subhanahu wa Ta’ala abadikan dalam al-Qur’an:Surah Al – Baqarah: 133, yang menyatakan: "Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Ya’kub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Mahaesa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”. (Al-Baqarah [2]: 133)

Tentu saja Nabi Ya’qub AS, sangat lega hatinya mendengar jawaban tegas dari anak – anak dan cucu - cucunya seperti itu.

Masalahnya sekarang. Adalah: “Bagaimana sekiranya anak – anak dan cucu - cucu kita  kita tanyai dengan pertanyaan yang serupa? Apakah mereka juga akan menjawab dengan jawaban yang serupa pula? Atau sebaliknya? Atau justru kita tidak akan pernah menanyakan kepada mereka tentang hal seperti itu?

Hadirin Jamaah Jumah, rohiemakumulloh!

Tentu saja jika kita menginginkan jawaban dari anak – anak dan cucu – cucu kita dengan seperti itu, tentu tidak bisa kita peroleh dengan gampang. Untuk mendapatkannya kita harus menyiapkan warisan untuk meraeka, bukan semata-mata warisan harta benda, tetapi jugawarisan  ilmu dan amal kebaikan sejak dini kepada anak – anak dan cucu – cucu serta keluarga kita. Bahkan warisan ilmu dan amal kebajikan itulah yang justru lebih penting bagi mereka.

Sebagai gambaran dan pelajaran tentang betapa pentingnya warisan Ilmu ini, dapat kita ambil pelajaran dari sekelumit kisah berikut ini.

Dikisahkan, bahwa dahulu kala, ada seorang raja yang merasa bahwa ajalnya tidak lama lagi akan menjeputnya. Maka ia memanggil ketiga orang anaknya, untuk dianyai tentang warisan apa yang ingin mereka minta sebelum sang raja meninggal? Singkat cerita:
  • Anak pertama meminta warisan berupa harta benda yang sangat banyak,. Maka ia pun diberi harta benda yang banyak, sesuai permintaannya..
  • Anak yang kedua meminta warisan tahta kerajaan yang saat itu dipegang ayahnya, maka diberilah tahta kerajaan itu kepada anak ke duanya.
  • Sedangkan anak yang ketiga bukan meminta warisan harta atau tahta, melainkania meminta warisan ilmu. 
Maka kapadanyapun diberikan sejumlah dana yang cukup untuk mencari ilmu di manapun an sampai kapanpun.

Nah…bagaimanakah kemudian nasib ketiga anak ini?
Setelah sang raja meninggal, harta yang dimiliki anak pertama tadi segera habis. Demikian pula anak yang meminta tahta, mengalami nasib serupa. Tahta itupun terlepas, karena adanya peristiwa kudeta (perebutan kekuasaan). Hanya anak ke tiga, yang memilih ilmu yang bernasib baik. Dengan ilmunya itu ia justru mendapatkan harta yang banyak dan tahta yang tinggi.

Tahukah kita siapa anak ketiga dalam kisah di atas? Ia adalah Nabi Sulaiman Alaihissalam, putra Nabi Daud Alaihissalam, yang kita tahu ia memiliki ilmu yang sangat luas. Dan dengan ilmunya itu pula beliau berhasil mendapatkan harta yang berlimpah dan tahta kerajaan yang tinggi menjulang, dengan cara yang halal dan legal.

Hadirin Jamaah Jumah, rohiemakumulloh!

Sebagai gambaran betapa pentingnya warisan beruma amal sholih, kiranya kisah berikut ini kita ambil sebagai pelajaran. Dikisahkan bahwa dahulu ada seorang kakek tua renta dan sakit-sakitan, sebagai pertanda ajalnya sudah dekat. Meski demikian, ia masih menyempatkan untuk menanam beberapa pohon yang suatu saat nanti buah atau kayu dari pohon itu akan dapat diambil banyak manfaatnya.

Mengetahui hal itu, sang cucu pun heran, lalu mendekati sang kakek yang nampak kecapekan. sehabis menanam beberapa pohon tersebut dan dengan penuh penasaran ia bertanya: “Kek…kakek ini kan sudah tua dan sakit-sakitan lagi. Untuk apa kakek menanam pohon – pohon ini, padahal kakek sudah tahu pasti, bahwa kakek tidak akan dapat memanen buah atau mengambil manfaat dari pohon – pohon yang kakek tanam itu?

Dengan senyum Sang Kakek menjawab: “Cucuku….memang benar bahwa kakek sudah tahu bahwa kakek tidak akan dapat memanen buah atau mengambil manfaat dari pohon – pohon yang kakek tanam ini. Tetapi ketahuilah, bahwa suatu saat nanti, mungkin kalian cucu – cucuku, atau mungkin anak cucumu, atau bahkan mungkin juga orang lain, pastilah akan dapat memanen buah atau mengambil manfaat dari pohon – pohon yang kakek tanam ini. Bagi kakek dan juga mestinya kamu dan cucuku yang lain, selagi kita masih bisa beramal atau berbuat kebajikan, kita mesti berbuat kebajikan itu, tidak usah kita pikirkan apakah kita dapat mengambil manfaat atau keuntungan dari amal atau kebajikan yang kita lakukan? Pastilah suatu saat nanti akan ada yang mengambil manfaat darinya?”

Mendengar jawaban sang kakek seperti itu, sang cucupun mengangguk – angguk tanda setuju, lantas iapun membantu sang kakek menyelesaikan menanam pohon – pohon yang belum selesai ditanam.
Semoga sekelumit cerita di atas dapat menjadi teladan bagi kita dan memotivasi/ mendorong kita untuk tetap selalu melakukan amal kebajikan selagi kita masih bisa melakukannya, tanpa harus berpikir apakah kita akan mendapatkan manfaat atau keuntungan atau tidak dari amal kebajikan yang kita lakukan itu.

Hadirin Jamaah Jumah, rohiemakumulloh!

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah salah orang mengumpulkan harta kekayaan untuk nantinya diwariskan kepada anak cucu dan keluarganya?

Bila mendengar kata ‘warisan’, yang sering terbayang di benak kita adalah peninggalan harta kekayaan orang tua yang telah meninggal untuk anak-anaknya. Bentuknya bisa berupa uang, perhiasan, rumah, tanah, atau surat-surat berharga.


Tidak ada salahnya orang mengumpulkan kekayaan untuk anak keturunannya.
Karena, memang anak keturunan kita membutuhkan pangan, sandang, dan tempat tinggal yang memadai. Jika anak-anak ditinggalkan dalam keadaan miskin tentu sulit meraih kesejahteraan. Bila sekadar makan sendiri saja tak sanggup memenuhinya, bagaimana bisa ia memberi manfaat kepada orang lain? Bisa jadi malah menjadi beban orang lain.

Di samping itu, secara fitrah, setiap orang tua memang ingin generasi pelanjutnya hidup berkecukupan. Bahkan harapannya, anak keturunannya itu bisa hidup lebih baik dan lebih mulia dari dirinya. Dengan harta peninggalan itulah anak-anak diharapkan akan bisa hidup dalam kemudahan.


Kita sendiri bisa menikmati hidup ini karena jasa orang tua kita dahulu. Hanya orang egois yang menyimpang dari fitrahnya saja tidak memikirkan keturunannya. Betapa berdosanya kita jika meninggalkan generasi yang lemah dan miskin.

Karena itulah, kita jangan menghabiskan kekayaan dengan berfoya-foya untuk dinikmati sendiri saja, tetapi harus menyiapkan juga untuk anak cucu kita warisan yang membuat mereka bisa bermanfaat bagi sesamanya.

Bahkan Allah Ta’ala melarang kita meninggalkan anak keturunan yang lemah, baik secara fisik, ekonomi maupun secara ruhani. Sebagaimana Ia berfirman:dalam QS. An – Nisa (4) : 9, yang menyatakan:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka”. (An-Nisa’ [4]: 9)

Namun hendaknya diingat, bahwa harta warisan yang kita tinggalkan itu, haruslah benar – benar harta yang halal, baik halal dzatnya maupun halal cara memperolehnya. Di samping itu juga harus disertai dengan warisan ilmu dan amal.

Mengapa demikian?

Sebab, harta warisan yang haram di samping akan menyebabkan pemiliknya masuk neraka, juga akan berpengaruh besar terhadap peri laku/ akhlaq dan juga nasib kehidupan di dunia selanjutnya. Kita bisa saksikan, berapa banyak anak cucu pejabat tinggi yang terjerumus ke dalam kasus NARKOBA dan kejahatan lainnya? Kemungkinan besar itu sabagai akibat apa yang ia makan dan nikmati dalam keseharian adalah harta yang diperoleh dengan cara yang haram, seperti hasil korupsi, misalnya.

Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW dalam salah satu haditsnya yang menyatakan: “Barang siapa yang dagingnya tumbuh dari makanan dan minuman yang haram, maka baginya tiada lain kecuali tempatnya di neraka” (Al-Hadits).

Di samping itu, jika harta warisan yang kita tinggalkan tidak disertai warisan ilmu dan amal kebaikan, bisa jadi justru harta warisan tersebut akan menjadi bumerang.

Harta kekayaan tanpa ilmu dan amal kebaikan, ibarat senjata yang tak terarah. Bisa jadi harta itu digunakan di jalan kemaksiatan. Bila itu yang terjadi, kita tentu terkena imbas dosa yang dilakukan anak cucu kita. Kiranya hal seperti ini banyak contoh yang terjadi di sekeliling kita.

Tetapi jika kita mewariskan kebaikan pada anak keturunan kita, maka kita juga akan memanen pahala yang mengalir (amal jariyah) meskipun kita telah meninggal dunia. Sebagaimana Nabi Muhammad bersabda dalam salah satu haditsnya yang sangat terkenal:
“Apa bila anak cucu Adam meninggal, maka terputuslah segala amalnya, kecuali tiga perkara, yaitu: shodaqoh jariyah, atau ilmu yang dapat diambil manfaatnya, atau anak sholih yang mau mendoakaanya” (Al – Hadits).

Hadirin Jamaah Jumah, rohiemakumulloh!

Orang yang cita-citanya hanya mewariskan harta, biasanya selalu berpikir, “Berapa banyak yang bisa saya kumpulkan?”
Begitu rakusnya, ia bahkan berharap bisa mengumpulkannya untuk tujuh turunan. Sehingga cara haram pun akan ditempuh bahkan harta karib dan saudarapun ia sikat, demi untuk mewujudkan impiannya.

Sementara itu, ia tidak pernah mau berpikir, “Berapa banyak yang bisa saya berikan?” Ini karena ia tidak punya kemauan beramal kebaikan. Kalau pun ia beramal kebaikan dengan infaq dan sedekah misalnya, mungkin dari hasil yang haram, yang hakekatnya bukanlah amal kebaikan, karena hanya sekadar untuk menutupi kejahatannya.

Akibatnya, saat ia meninggal, mungkin banyak harta yang diwariskan. Namun, jusru anak keturunannya bertengkar karena memperebutkan harta warisan itu.
Sungguh kasihan orang seperti ini. Ia bekerja keras banting tulang sepanjang waktu, namun setelah harta terkumpul, justru menjadi sumber fitnah. Jangan berharap pahala terus mengalir ketika kita sudah berada di alam kubur, justru aliran dosa tak bisa terbendung sebagai akibat kita tidak meninggalkan warisan kebaikan.


Karena itu, di samping harta dunia yang halal, kita harus mewariskan ilmu dan amal pada anak-anak dan cucu – cucu kita. Harta yang banyak akan membawa kebahagiaan jika disertai dengan ilmu dan amal. Jangan sampai warisan harta yang banyak justru memakan korban tuannya sendiri atau Si Pemilik harta itu sendiri.

C.     PENUTUP

Hadirin Jamaah Jumah, rohiemakumulloh!

Demikianlah khutbah siang ini, semoga dengan paparan tadi, akan mengingatkan dan memotivasi/ mendorong kita untuk mempersiapkan warisan kepada anak cucu kita berupa: harta yang halah yang disertai dengan, ilmu dan amal kebajikan yang bermanfaat, Amien Yaa Robbal ‘Alamien.

Baarokalloohu lii walakum fil Qur’anil ‘Adzim. Wanafa’anii waiyyakum minal aayaati wadzikril hakiem. Wataqobballa minni waminkum tilawatahu innaahu Huawal Ghofuuruu Rohiem.

2 komentar: