Sabtu, 24 November 2012

TERNYATA LARANGAN PERGURUN TINGGI NEGERI DAN SWASTA MEMBUKA KELAS JAUH/ KULIAH SABTU MINGGU MASIH BANYAK DILANGGAR?

Sejumlah mahasiswa mengikuti perkuliahan reguler di sebuah universitas swasta di Jakarta, Jumat (11/5). Melalui Surat Edaran Direktur Kelembagaan Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi No 595/D5.1/2007, terhitung sejak tanggal 27 Februari 2007 melarang model Kelas Jauh dan Kelas Sabtu/Minggu.

Mencerdaskan kehidupan bangsa, merupakan tujuan bangsa yang sangat mulia yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945, baik UUD 1945 yang belum ataupun yang sudah diamandemen. Namun, bentuk pencerdasan seperti apa yang jitu bagi bangsa? Formula inilah yang kadang menjadi ‘kendaraan’ pihak-pihak dengan mengatasnamakan pendidikan melalui berbagai program perkuliahan dengan iming-iming cepat lulus.

Adalah Ditjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Satryo Soemantri Brodjonegoro yang “gelisah” melihat fenomena kian membiaknya berbagai program kuliah yang sangat memudahkan mahasiswa dan cenderung melabrak berbagai aturan pendidikan. Dia tidak menutup mata bahwa sampai saat ini masih banyak perguruan tinggi (PT) yang melakukan penyimpangan. Salah satunya adalah memberikan kemudahan untuk kelulusan mahasiswanya. Akibatnya, kualitas PT menurun. Padahal, PT bertanggung jawab secara moral kepada masyarakat.”Masih banyak PT yang memudahkan kelulusan mahasiswa. Misalnya, program kelas jauh dan perkuliahan Sabtu-Minggu. Karena ini kami mengeluarkan surat edaran yang melarang program seperti itu,” katanya.

Menanggapi hal tersebut, mantan Rektor Universitas Katolik Atmajaya Yogyakarta Slamet Sarwono mengaku pihaknya menyambut positif surat edaran itu. Meski kelas jauh dan kelas Sabtu-Minggu sesuatu yang wajar di luar negeri, tetapi di Indonesia banyak disalahgunakan.
“Kultur kuliah di sana beda dengan di sini. Tidak ada perbedaan antara kelas jauh dengan regular.

Beda dengan di Indonesia. Kultur kelas jauh di Indonesia memang tidak dalam konteks belajar, tetapi yang penting dapat ijazah. Ada beberapa orang yang memang tidak belajar. Saya pikir surat semacam itu perlu juga supaya mengingatkan kita bahwa cara-cara seperti itu bisa tidak berguna di kemudian hari,” katanya.

Satriyo mengatakan, surat edaran yang dikeluarkan Dikti itu adalah Surat Edaran Direktur Kelembagaan Dirjen Dikti No 595/D5.1/2007. Terhitung sejak tanggal 27 Februari melarang model Kelas Jauh dan Kelas Sabtu-Minggu.

Ini sebenarnya larangan kesekian kalinya. Sebab menurutnya, sebetulnya bukan baru kali ini Ditjen Dikti mengeluarkan surat edaran tentang larangan perkuliahan jarak jauh. Pelarangan serupa sudah lama dilakukan oleh Ditjen Dikti, tetapi tak dihiraukan oleh PT yang melaksanakannya.
Satryo mengatakan, kalau perkuliahan bagi karyawan seharusnya PT mengikuti aturan Dikti mengenai perkuliahan non-regular. “Kami telah melayangkan surat peringatan kepada PT-PT yang meyelenggarakan model seperti itu,” katanya.

Satryo mencontohkan, ada kuliah paruh waktu yang memudahkan kelulusan mahasiswanya. “Ini kan menyimpang. Misalnya, kuliah normal saja empat tahun. Namun, ada yang cepat. Kita inginnya ada asas kepercayaan,” katanya.

Penyalahgunaan dalam kuliah dengan waktu longgar itu diakui pengamat pendidikan Winarno Surakhmad. Dilihat dari segi niatan, surat edaran itu cukup baik untuk menghapus praktik-praktik perkuliahan yang memudahkan kelulusan peserta didik. Sayangnya, surat edaran semacam itu hanya langkah birokratis tanpa memecahkan persoalan sebenarnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa sebenarnya bukan kelas jauh ataupun melarang kuliah di Sabtu-Minggu yang harus diperhatikan pemerintah, tetapi bagaimana menjamin semua proses pendidikan berjalan dengan benar. Di luar negeri, kelas jauh sama sekali tidak menjadi masalah. Dengan hanya melarang kelas jauh tanpa melakukan pembinaan, dia meragukan praktik kelas jauh dapat dihentikan.
Dia mengakui bila pemerintah mempunyai niat baik melihat kenyataan bahwa kelas jauh itu bersifat komersialnya saja.

“Ada yang kalau ikut, tinggal mendapat ijazah. Ada juga kelas jauh yang sudah jauh dari perpustakaan, dari riset, segala macam. Tetapi tidak harus langsung semua negatif. Jangankan kelas jauh, kelas tatap muka saja banyak yang tidak benar,” katanya.
Menurut dia, model kelas jauh sebenarnya tidak masalah mengingat dukungan teknologi yang sekarang ada. Di negara-negara maju, kelas jauh ada dan lulusannya pun bagus.
“Sekarang teknologi memungkinkan kelas jauh, malah kelas paling jauh,” katanya.
Selain itu, jelas Winarno, kelas jauh sebenarnya berguna bagi pegawai-pegawai di daerah yang ingin meningkatkan kemampuannya.

Sementara menurut Satriyo, kelas jauh dalam bentuk apapun dilarang pelaksanaannya karena bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No 60/1999. Juga dalam Surat Edaran Direktur Kelembagaan Dirjen Dikti No 595/D5.1/2007 terhitung sejak tanggal 27 Februari 2007 telah melarang model Kelas Jauh dan Kelas Sabtu-Minggu dan telah menetapkan bahwa ijazah yang dikeluarkan tidak sah dan tidak dapat digunakan terhadap pengangkatan maupun pembinaan jenjang karier penyetaraan bagi Pegawai Negeri Sipil, TNI, dan Polri.
Humas Depdiknas, Bambang Wasito Adi mengatakan, berbeda dengan Kelas Jarak Jauh, program penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan dengan fasilitas e-learning, merupakan suatu jenis pendidikan modern. E-learning adalah suatu proses pembelajaran yang memanfaatkan teknologi informasi berupa komputer yang dilengkapi dengan sarana telekomunikasi (internet, intranet dan ekstranet) serta multimedia (grafis, audio, dan video) sebagai media utama dalam penyampaian materi dan interaksi antara pengajar dan pembelajar.

Bambang menjelaskan, Depdiknas tidak bertanggung jawab serta tidak mengakui keabsahan ijazah yang diperoleh dari penyelenggaraan pendidikan kelas jauh. Penyelenggaraan dan pemegang ijazah yang tidak sah ini dapat dikenakan hukuman berdasarkan UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 67, 68, 69 dan pasal 71.
Bambang meminta kepada masyarakat khususnya pejabat di daerah tidak tergiur mengikuti program kelas jauh yang banyak ditawarkan oleh PTN dan PTS melalui iklan di media cetak, karena berdasarkan surat edaran Dirjen Dikti Depdiknas No. 170/D/T/2005 menyatakan, sanksi kepada PTN dan PTS yang melaksanakan pendidikan kelas jauh dikenakan sanksi berat berupa penutupan perguruan tinggi/program studi dan sanksi ringan berupa penangguhan sementara otonomi pengelolaan perguruan tinggi.

Sejauh ini, lanjutnya, penyelenggaraan pendidikan jarak jauh (bukan kelas jauh) ditangani oleh Universitas Terbuka (UT) yang ijazahnya diakui oleh negara. PTN dan PTS dalam waktu mendatang boleh membuka pendidikan jarak jauh dan bukan kelas jauh dengan mengusulkan pelaksanaan pendidikan jarak jauh berdasarkan rambu-rambu yang berlaku. “Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi secara ketat akan mengevaluasi terhadap usulan penyelenggaraan pendidikan jarak jauh oleh PTN dan PTS sebelum izin penyelenggaraan dikeluarkan,” jelasnya.
Selain itu lanjut Bambang, ijazah yang diperoleh dari perguruan tinggi kelas jauh/paralel, baik yang diselenggarakan PTN maupun swasta tidak dapat digunakan atau civil effect terhadap pengangkatan maupun peningkatan jenjang karir PNS.

Dikatakan, tidak dapat digunakannya ijazah dari perguruan tinggi kelas jauh/paralel tersebut mengacu pada surat Ditjen Dikti RI No 68 /D.5.1/2006 yang menyatakan hal tersebut serta mempedomani UU No 20/2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Berdasarkan surat tersebut diharapkan agar pemerintah setempat tidak memberikan izin kepada PNS yang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi kelas jauh, dengan harapan agar tidak ada yang dirugikan. “Bagi mereka yang telah terlanjur kuliah di kelas jauh/paralel tersebut disarankan segera mutasi atau pindah ke PT yang ada atau pada UT,” harapnya.

Menyayangkan
Sementara itu, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Suharyadi, kepada SP, menyayangkan surat edaran Dikti tersebut. Pasalnya, tidak semua PT berperilaku seperti keterangan dalam SE Dikti itu.

Suharyadi mengemukakan, Dikti harus mengawasi ketat PT yang berperilaku seperti yang tertuang dalam SE itu. “Saya belum menemukan landasan hukumnya atau UUnya yang menyatakan bahwa kuliah Sabtu dan Minggu dilarang. Ini kan sebenarnya menolong mahasiswa yang memiliki kesibukan. Lagipula, program yang dibuat juga tidak main-main. Model ini bahkan sudah melalui kajian-kajian,” katanya.

Suharyadi menambahkan, seharusnya Dikti membenahi sistim PT dan mengawasinya dengan ketat. “Saya sangat setuju jika ada PT yang memudahkan kelulusan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan aturan pendidikan ditutup. Tapi, jangan semua PT digeneralisasi. Masih ada PT yang menyelenggarakan kuliah Sabtu dan Minggu itu, kualitasnya sangat baik,” katanya
Sementara itu, Manajer Divisi Monitoring Pelayanan Publik, Indonesia Corruption Watch Ade Irawan, mengatakan bahwa latar belakang maraknya program ekstensi lantaran pemerintah sudah mengurangi subsidi pendidikan di PTN. Hal inilah yang mendorong PTN mencari peluang usaha untuk menghidupi kegiatan-kegiatannya.

Namun, di satu sisi, pendidikan sudah menjadi komoditas bisnis. “Dengan maraknya program ekstensi di PTN menunjukkan bahwa PTN sudah mulai menjadikan kampus sebagai komoditas bisnis. “Sementara, masyarakat sepertinya juga terkena sindrom ijazah. Artinya, jika ijazah itu dari PTN tentunya akan mendongkrak kualitas yang bersangkutan. Padahal, belum tentu benar demikian. Ini sudah terjadi simbiosis mutualisme,” kata dia.
Ade mengatakan, salah satu program ekstensi adalah pembukaan kelas-kelas jauh. “Kelas-kelas jauh inilah yang kerap diragukan mutunya. Ada contoh kelas jauh di Tangerang. Di sana, sarana dan prasarananya berantakan,” kata dia.

Oleh karena itu, lanjut Ade, pemerintah sebaiknya melakukan intervensi terhadap PTN guna mengendalikan kelas-kelas ekstensi. “Intervensi dalam bentuk pembenahan sekaligus mempertahankan mutu PTN. Jangan sampai, mutu PTN hancur hanya karena program ekstensi yang kacau-balau,” katanya. [W-12/A-22] SUARA PEMBARUAN DAILY

Sumber dari : www.suarapembaruan.com/News/2007/05/13/Utama/ut01.htm