Sejumlah mahasiswa mengikuti perkuliahan reguler di sebuah
universitas swasta di Jakarta, Jumat (11/5). Melalui Surat Edaran
Direktur Kelembagaan Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi No
595/D5.1/2007, terhitung sejak tanggal 27 Februari 2007 melarang model
Kelas Jauh dan Kelas Sabtu/Minggu.
Mencerdaskan kehidupan bangsa, merupakan tujuan bangsa yang
sangat mulia yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945, baik UUD 1945
yang belum ataupun yang sudah diamandemen. Namun, bentuk pencerdasan
seperti apa yang jitu bagi bangsa? Formula inilah yang kadang menjadi
‘kendaraan’ pihak-pihak dengan mengatasnamakan pendidikan melalui
berbagai program perkuliahan dengan iming-iming cepat lulus.
Adalah
Ditjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Satryo
Soemantri Brodjonegoro yang “gelisah” melihat fenomena kian membiaknya
berbagai program kuliah yang sangat memudahkan mahasiswa dan cenderung
melabrak berbagai aturan pendidikan. Dia tidak menutup mata bahwa sampai
saat ini masih banyak perguruan tinggi (PT) yang melakukan
penyimpangan. Salah satunya adalah memberikan kemudahan untuk kelulusan
mahasiswanya. Akibatnya, kualitas PT menurun. Padahal, PT bertanggung
jawab secara moral kepada masyarakat.”Masih banyak PT yang memudahkan
kelulusan mahasiswa. Misalnya, program kelas jauh dan perkuliahan
Sabtu-Minggu. Karena ini kami mengeluarkan surat edaran yang melarang
program seperti itu,” katanya.
Menanggapi hal tersebut, mantan Rektor Universitas Katolik Atmajaya
Yogyakarta Slamet Sarwono mengaku pihaknya menyambut positif surat
edaran itu. Meski kelas jauh dan kelas Sabtu-Minggu sesuatu yang wajar
di luar negeri, tetapi di Indonesia banyak disalahgunakan.
“Kultur kuliah di sana beda dengan di sini. Tidak ada perbedaan antara kelas jauh dengan regular.
Beda dengan di Indonesia. Kultur kelas jauh di Indonesia memang tidak dalam konteks belajar, tetapi yang penting dapat ijazah.
Ada beberapa orang yang memang tidak belajar. Saya pikir surat semacam
itu perlu juga supaya mengingatkan kita bahwa cara-cara seperti itu bisa
tidak berguna di kemudian hari,” katanya.
Satriyo mengatakan, surat edaran yang dikeluarkan Dikti itu adalah Surat
Edaran Direktur Kelembagaan Dirjen Dikti No 595/D5.1/2007. Terhitung
sejak tanggal 27 Februari melarang model Kelas Jauh dan Kelas
Sabtu-Minggu.
Ini sebenarnya larangan kesekian kalinya. Sebab menurutnya,
sebetulnya bukan baru kali ini Ditjen Dikti mengeluarkan surat edaran
tentang larangan perkuliahan jarak jauh. Pelarangan serupa sudah lama
dilakukan oleh Ditjen Dikti, tetapi tak dihiraukan oleh PT yang
melaksanakannya.
Satryo mengatakan, kalau perkuliahan bagi karyawan seharusnya PT
mengikuti aturan Dikti mengenai perkuliahan non-regular. “Kami telah
melayangkan surat peringatan kepada PT-PT yang meyelenggarakan model
seperti itu,” katanya.
Satryo mencontohkan, ada kuliah paruh waktu yang memudahkan kelulusan
mahasiswanya. “Ini kan menyimpang. Misalnya, kuliah normal saja empat
tahun. Namun, ada yang cepat. Kita inginnya ada asas kepercayaan,”
katanya.
Penyalahgunaan dalam kuliah dengan waktu longgar itu diakui pengamat
pendidikan Winarno Surakhmad. Dilihat dari segi niatan, surat edaran itu
cukup baik untuk menghapus praktik-praktik perkuliahan yang memudahkan
kelulusan peserta didik. Sayangnya, surat edaran semacam itu hanya
langkah birokratis tanpa memecahkan persoalan sebenarnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa sebenarnya bukan kelas jauh
ataupun melarang kuliah di Sabtu-Minggu yang harus diperhatikan
pemerintah, tetapi bagaimana menjamin semua proses pendidikan berjalan
dengan benar. Di luar negeri, kelas jauh sama sekali tidak menjadi
masalah. Dengan hanya melarang kelas jauh tanpa melakukan pembinaan, dia
meragukan praktik kelas jauh dapat dihentikan.
Dia mengakui bila pemerintah mempunyai niat baik melihat kenyataan bahwa kelas jauh itu bersifat komersialnya saja.
“Ada yang kalau ikut, tinggal mendapat ijazah. Ada juga kelas jauh
yang sudah jauh dari perpustakaan, dari riset, segala macam. Tetapi
tidak harus langsung semua negatif. Jangankan kelas jauh, kelas tatap
muka saja banyak yang tidak benar,” katanya.
Menurut dia, model kelas jauh sebenarnya tidak masalah mengingat
dukungan teknologi yang sekarang ada. Di negara-negara maju, kelas jauh
ada dan lulusannya pun bagus.
“Sekarang teknologi memungkinkan kelas jauh, malah kelas paling jauh,” katanya.
Selain itu, jelas Winarno, kelas jauh sebenarnya berguna bagi pegawai-pegawai di daerah yang ingin meningkatkan kemampuannya.
Sementara menurut Satriyo, kelas jauh dalam bentuk apapun dilarang
pelaksanaannya karena bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No
60/1999. Juga dalam Surat Edaran Direktur
Kelembagaan Dirjen Dikti No 595/D5.1/2007 terhitung sejak tanggal 27
Februari 2007 telah melarang model Kelas Jauh dan Kelas Sabtu-Minggu dan
telah menetapkan bahwa ijazah yang dikeluarkan tidak sah dan
tidak dapat digunakan terhadap pengangkatan maupun pembinaan jenjang
karier penyetaraan bagi Pegawai Negeri Sipil, TNI, dan Polri.
Humas Depdiknas, Bambang Wasito Adi
mengatakan, berbeda dengan Kelas Jarak Jauh, program penyelenggaraan
pendidikan yang dilakukan dengan fasilitas e-learning, merupakan suatu jenis pendidikan modern. E-learning
adalah suatu proses pembelajaran yang memanfaatkan teknologi informasi
berupa komputer yang dilengkapi dengan sarana telekomunikasi (internet,
intranet dan ekstranet) serta multimedia (grafis, audio, dan video)
sebagai media utama dalam penyampaian materi dan interaksi antara
pengajar dan pembelajar.
Bambang menjelaskan, Depdiknas tidak bertanggung jawab serta tidak
mengakui keabsahan ijazah yang diperoleh dari penyelenggaraan pendidikan
kelas jauh. Penyelenggaraan dan pemegang ijazah yang tidak sah ini
dapat dikenakan hukuman berdasarkan UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 67, 68, 69 dan pasal 71.
Bambang meminta kepada masyarakat khususnya pejabat di daerah tidak
tergiur mengikuti program kelas jauh yang banyak ditawarkan oleh PTN dan
PTS melalui iklan di media cetak, karena berdasarkan surat edaran
Dirjen Dikti Depdiknas No. 170/D/T/2005 menyatakan, sanksi kepada PTN
dan PTS yang melaksanakan pendidikan kelas jauh dikenakan sanksi berat
berupa penutupan perguruan tinggi/program studi dan sanksi ringan berupa
penangguhan sementara otonomi pengelolaan perguruan tinggi.
Sejauh ini, lanjutnya, penyelenggaraan pendidikan jarak jauh (bukan kelas jauh) ditangani oleh Universitas Terbuka (UT) yang ijazahnya diakui oleh negara.
PTN dan PTS dalam waktu mendatang boleh membuka pendidikan jarak jauh
dan bukan kelas jauh dengan mengusulkan pelaksanaan pendidikan jarak
jauh berdasarkan rambu-rambu yang berlaku. “Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi secara ketat akan mengevaluasi terhadap usulan
penyelenggaraan pendidikan jarak jauh oleh PTN dan PTS sebelum izin
penyelenggaraan dikeluarkan,” jelasnya.
Selain itu lanjut Bambang, ijazah yang
diperoleh dari perguruan tinggi kelas jauh/paralel, baik yang
diselenggarakan PTN maupun swasta tidak dapat digunakan atau civil effect terhadap pengangkatan maupun peningkatan jenjang karir PNS.
Dikatakan, tidak dapat digunakannya ijazah dari perguruan tinggi
kelas jauh/paralel tersebut mengacu pada surat Ditjen Dikti RI No 68
/D.5.1/2006 yang menyatakan hal tersebut serta mempedomani UU No 20/2003
tentang Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Berdasarkan surat tersebut diharapkan agar pemerintah setempat tidak
memberikan izin kepada PNS yang melanjutkan pendidikan di perguruan
tinggi kelas jauh, dengan harapan agar tidak ada yang dirugikan. “Bagi
mereka yang telah terlanjur kuliah di kelas jauh/paralel tersebut
disarankan segera mutasi atau pindah ke PT yang ada atau pada UT,” harapnya.
Menyayangkan
Sementara itu, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Suharyadi, kepada SP, menyayangkan surat edaran Dikti tersebut. Pasalnya, tidak semua PT berperilaku seperti keterangan dalam SE Dikti itu.
Suharyadi mengemukakan, Dikti harus mengawasi ketat PT yang
berperilaku seperti yang tertuang dalam SE itu. “Saya belum menemukan
landasan hukumnya atau UUnya yang menyatakan bahwa kuliah Sabtu dan
Minggu dilarang. Ini kan sebenarnya menolong mahasiswa yang memiliki
kesibukan. Lagipula, program yang dibuat juga tidak main-main. Model ini
bahkan sudah melalui kajian-kajian,” katanya.
Suharyadi menambahkan, seharusnya Dikti membenahi sistim PT dan
mengawasinya dengan ketat. “Saya sangat setuju jika ada PT yang
memudahkan kelulusan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan aturan
pendidikan ditutup. Tapi, jangan semua PT digeneralisasi. Masih ada PT
yang menyelenggarakan kuliah Sabtu dan Minggu itu, kualitasnya sangat
baik,” katanya
Sementara itu, Manajer Divisi Monitoring Pelayanan Publik, Indonesia
Corruption Watch Ade Irawan, mengatakan bahwa latar belakang maraknya
program ekstensi lantaran pemerintah sudah mengurangi subsidi pendidikan
di PTN. Hal inilah yang mendorong PTN mencari peluang usaha untuk
menghidupi kegiatan-kegiatannya.
Namun, di satu sisi, pendidikan
sudah menjadi komoditas bisnis. “Dengan maraknya program ekstensi di PTN
menunjukkan bahwa PTN sudah mulai menjadikan kampus sebagai komoditas
bisnis. “Sementara, masyarakat sepertinya juga terkena sindrom ijazah.
Artinya, jika ijazah itu dari PTN tentunya akan mendongkrak kualitas
yang bersangkutan. Padahal, belum tentu benar demikian. Ini sudah
terjadi simbiosis mutualisme,” kata dia.
Ade mengatakan, salah satu program ekstensi adalah pembukaan
kelas-kelas jauh. “Kelas-kelas jauh inilah yang kerap diragukan mutunya.
Ada contoh kelas jauh di Tangerang. Di sana, sarana dan prasarananya
berantakan,” kata dia.
Oleh karena itu, lanjut Ade, pemerintah sebaiknya melakukan
intervensi terhadap PTN guna mengendalikan kelas-kelas ekstensi.
“Intervensi dalam bentuk pembenahan sekaligus mempertahankan mutu PTN.
Jangan sampai, mutu PTN hancur hanya karena program ekstensi yang
kacau-balau,” katanya. [W-12/A-22] SUARA PEMBARUAN DAILY
Sumber dari : www.suarapembaruan.com/News/2007/05/13/Utama/ut01.htm