Jumat, 22 Juni 2012

KHUTBAH JUMAH “APAKAH REJEKI KITA TERMASUK REJEKI YANG BAROKAH?”


PENDAHULUAN

Hadirin Jamaah Jumah Rohiemakumullah

Kata “BAROKAH” meskipun itu berasal dari bahasa Arab, namun sudah tidak asing lagi di telinga maupun di lisan bangsa kita, bangsa Indonesia. Bahkan, tidak sedikit nama – nama unit usaha, seperti: Toko, Warung, Bengkel dan nama unit usaha lain yang diberi nama “BAROKAH”.

Pertanyaannya adalah:
  1.  Apa pengertian  “REJEKI YANG BAROKAH”  itu? 
  2.  Bagaimana “Ciri – Ciri Rejeki yang “BAROKAH” itu? 
  3.  Apakah Rejeki yang kita miliki termasuk rejeki yang “BAROKAH”? 
  4.   Apa syarat agar rejeki yang kita miliki itu “BAROKAH”?
 ISI KHUTBAH

Hadirin Jamaah Jumah Rohiemakumullah

Pengertian kata “BAROKAH” adalah: kebaikan ilahi yang ada pada sesuatu dengan ciri adanya perkembangan dan pertambahan pada sesuatu tersebut. Dengan demikian pengertian REJEKI YANG BAROKAH adalah REJEKI  yang di dalamnya terkandung kebaikan, perkembangan dan pertambahan.

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat diketahui bahwa  ciri – ciri dari rejeki yang barokah adalah Rejeki yang di dalamnya memenuhi sebagian atau keseluruhan dari tiga ciri berikut ini :

1. Bermanfaat bagi banyak orang bahkan bagi makhluk lainnya.
2. Tidak berkurang manakala dimanfaatkan.
3. Jumlahnya bertambah manakala dimanfaatkan.

Hadirin Jamaah Jumah Rohiemakumullah

Mari kita bahas satu per satu dari ketiga Ciri Rejeki yang Barokah tersebut.
Jika kita kepingin memperoleh rejeki yang barokah, maka syarat pertama adalah rejeki tersebut harus bisa dimanfaatkan oleh banyak orang, bahkan oleh banyak makhluk. Untuk mencapai tujuan ini maka kita harus mau berbagi.

Manakala si empunya rejeki adalah orang yang kikir, alias bakhil bin pelit, atau dalam bahasa jawa tengahan biasa disebut ‘medhit alias githoke legok’, maka…. sudahlah tidak usah mengharap rejekinya barokah.

Barokah tidak datang pada rejekinya si Pelit bin Bakhil ini.
Namun untuk memiliki rejeki semacam ini, bukannya tanpa kendala. Akal sehat manusia -yang sebenarnya sakit sering menjadi kendala, yakni di kala ia berpikir, “Lha kalau uang yang saya miliki ini saya bagi-bagi, nanti bagian saya kan berkurang. Bahkan bisa jadi miskin nantinya saya. Berbagi itu kan kalo uangnya banyak atau bersisa. Laa kalau uang cuma sedikit kok disuruh membagi? Laa kok enak saja…..?.”

Lha kalo kita sudah berpikir begitu, itu namanya kita telah termakan oleh bujuk rayu Si Iblis atau Syaithon laknatulloh. Sebagaimana sudah diperingatkan oleh Alloh SWT dalam QS Al Baqoroh:268 , yang menyatakan:

“Syaithon itu menjanjikan kefakiran buat kalian dan memerintahkan kalian untuk berbuat keji. Sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karunia-Nya. Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui” (Al Baqoroh:268)

Hadirin Jamaah Jumah Rohiemakumullah

Jadi sebenarnya, dengan berbagi itu tidak akan membikin orang jadi fakir miskin, itu cuma bualan syaitan saja. Secara nominal atau jumlah, uangnya bisa jadi berkurang. Namun secara kualitas atau mutu uang tersebut bisa mendatangkan banyak manfaat yang sering tidak kita lihat.
Beberapa contoh konkrit berikut ini, kiranya dapat kita simak dengan seksama, untuk mengambil hikmah dan manfaat dari padanya…insya Alloh!,

  • Ada seorang pasien pegawai Pertamina, yang secara nominal angka atau jumlah, uangnya banyak berlimpah. Namun seiring dengan itu, hampir separoh lebih penghasilannya habis buat berobat dirinya yang sakit diabetes, isterinya pun juga memiliki problem yang sama. Keluar masuk rumah sakit dengan bermacam keluhan. Dari kencing batu, katarak, hipoglikemik, hiperglikemik dan segudang penyakit lainnya. 
  • Sementara itu di satu sisi, seorang sahabat yang miskin alias melarat dengan penghasilan di bawah Upah Minimum Regional (UMR), hidup serba pas-pasan. Tetapi dia masih bisa menyisihkan sedikit uangnya itu untuk sedekah rutin setiap harinya. Kelihatannya hidupnya tidak begitu berdaya, namun ternyata keluarga tersebut sehat segar bugar, bisa tertawa-tawa, tidak dipenuhi oleh beban hidup yang macam-macam. Kita tentu berhusnudhon, bahwa kemungkinan besar sedekah yang rutin ia lakukan selama ini, mesti tidak banyak telah membentengi keluarga miskin alias melarat itu dari berbagai musibah yang bermacam - macam. 
  • Ada lagi seorang siswa SMA, yang saat sekolah hanya diberi bekal/uang saku Rp 5.000,00 yang bagi dia dengan ukuran jaman sekarang, tentu uang segitu untuk makan saja tidak akan bikin kenyang perut.  Nah sewaktu dimintai sedekahnya untuk Pembangunan Musholla di Sekolahnya, dia tidak mau memberi dengan beralasan, “Laa wong buat saya makan saja tidak bisa mengenyangkan perut saya, kok dimintaii sedekah, apa kalian tidak berpikir…” katanya. 
  • Sementara teman yang lain menimpali, “Laa…yang pekok (tidak berpikir) itu kamu,. Laa sudah jelas makan dengan uang Rp 5.000,00 tidak bisa bikin perutmu kenyang, mestinya kalau kamu sedekahkan Rp 1.000,00 atau Rp 2.000,00 kan juga tidak bikin kenyang perutmu?. Nah…sama-sama tidak kenyangnya, tapi yang satu kan bisa sedekah Rp 1.000,00 atau Rp 2.000,00…?. Makanya sedekahkan saja meski hanya Rp 1.000,00 atau Rp 2.000,00. Mudah-mudahan justru malah yang Rp 4.000,00 atau Rp 3.000,00 itu bisa membuat perutmu kenyang…!”
Kiranya itu adalah merupakan solusi cerdas. Jadi kalau sampai saat ini kita masih berpikir rejeki itu berkurang dengan berbagi, maka berarti kita masih berpikir bahwa rejeki itu hanya uang atau harta benda. Padahal tidak begitu. Memang kalau uang atau harta itu jika dibagi, maka akan berkurang. Tetapi berkurangnya uang atau harta karena berbagi itu bisa saja mendatangkan rejeki yang lain yang nilainya lebih besar dari sekedar besaran angka uang atau harta. 

Dan inilah yang namanya barokah.Hanya saja dengan sifat individualistis (sifat mementingkan diri sendiri) dan rakusnya manusia jaman sekarang, setiap dia mendapat rejeki, selalu yang terpikir dalam dirinya ingin memanfaatkan rejeki itu sebatas untuk dirinya sendiri. Maka inilah yang membatasi kemanfaatan rejeki tersebut. 

Dan sudah pasti rejeki model begini ini akan tercabut barokahnya.
Nah….pertanyaannya adalah……Siapkah kita berbagi rejeki?  Segala macam rejeki?  Baik rejeki itu berupa Uang atau Harta benda, ilmu, teman, waktu, tenaga, pikiran, …. dan lain sebagainya…, semuanya itu adalah rejeki yang bisa kita berbagi dengannya, sehingga kita akan memperoleh barokah dari rejeki tersebut.

Hadirin Jamaah Jumah Rohiemakumullah

Ciri kedua dari rejeki yang barokah adalah : Jumlahnya tidak berkurang manakala dimanfaatkan. Lha apa ada barang yang semacam itu? Kok nadanya seperti tebak – tebakan yang jawabannya biasanya tidak karuan ke sana ke mari…?
Ini bukan tebak – tebakan, tetapi memang harta model begini memang benar – benar ada. Bukan mukjizat Nabi, bukan sihirnya si Tukang Sihir yang Syirik dan bukan pula sulap serta bukan pula ilusinya si mentalis Dedi Kodbusyer. Yang mengalami juga bukan Nabi, tetapi ia hanya manusia biasa. Sebab kalau Nabi atau Rasul yang mengalaminya, biasanya kita mesti ngeyel, dengan mengatakan“lha pantas saja bisa, laa wong dia Nabi atau Rosul manusia Pilihan Alloh SWT …?”

Hadirin Jamaah Jumah Rohiemakumullah.

Harta seperti ini pernah dimiliki oleh puteri Nabi Muhammad saw yang bernama Fathimah r.a, yang  

Kisahnya sebagai berikut:
Suatu hari Rasulullah SAW duduk di masjid dan dikelilingi oleh para sahabat. Tidak lama kemudian seorang tua bangka dengan pakaian compang-camping datang menghampiri mereka. Usia tua dan kelemahan badannya telah merenggut segala kekuatan yang dimilikinya. Rasulullah SAW menghampirinya seraya bertanya tentang keadaannya. Ia menjawab: “Wahai Rasulullah, aku adalah seorang papa dan lapar, berikanlah aku makanan. Aku telanjang, berikanlah kepadaku pakaian. Aku hidup menderita, tolonglah aku”.

Rasulullah SAW menjawab: “Aku sekarang tidak memiliki sesuatu (yang dapat kuberikan kepadamu). Akan tetapi, ada orang yang dapat menunjukkan kepadamu suatu kebaikan, sebenarnya ia juga memiliki saham dalam kebaikan tersebut”.

Setelah berkata demikian, Rasulullah SAW menyuruhnya untuk pergi ke rumah Fathimah r.a. Ia pergi ke rumahnya dan sesampainya di sana ia menceritakan segala penderitaannya.
Ia menjawab: “Aku pun sekarang tidak memiliki sesuatu (yang dapat kuberikan kepadamu)”. Setelah berkata demikian, ia melepas kalung yang dihadiahkan oleh putri Hamzah bin Abdul Muthalib ra kepadanya dan memberikannya kepada pria tua itu seraya berkata: “Juallah kalung ini, insya-Allah engkau akan dapat memenuhi kebutuhanmu”.

Setelah mengambil kalung tersebut pria tua itu pergi ke masjid dan menemui Rasulullah SAW yang masih duduk bersama para sahabat kala itu. Pria tua itu berkata. “Wahai Rasulullah, Fathimah ra memberikan kalung ini kepadaku untuk dijual demi memenuhi segala kebutuhanku”.
Amar bin Yasir berkata:“Wahai Rasulullah, apakah Anda mengizinkan kalung ini kubeli?”

“Siapa yang membelinya, semoga Allah tidak mengazabnya”,
jawab Rasulullah SAW singkat.
Amar bin Yasir bertanya kepada pria tua itu: “Berapa kamu mau menjualnya?”
“Aku akan menjualnya seharga roti dan daging yang dapat mengenyangkanku, pakaian yang dapat menutupi badanku dan 10 Dinar sebagai bekalku pulang menuju rumahku”, jawabnya pendek.
Amar bin Yasir berkata: “Kubeli kalung ini dengan harga 20 Dinar emas, makanan, pakaian dan kuda (sebagai tungganganmu pulang)”.

Ia membawa pria tua itu ke rumahnya, lalu diberinya makan, pakaian, kuda dan 20 Dinar emas yang telah disepakatinya. Setelah mengharumkan kalung tersebut dengan minyak wangi dan membungkusnya dengan kain, ia berkata kepada budaknya: “Berikanlah bungkusan ini kepada Rasulullah SAW, dan aku juga menghadiahkanmu kepada beliau”.

Rasulullah SAW akhirnya menghadiahkan kalung dan budak tersebut kepada Fathimah r.a. Fathimah r.a. mengambil kalung tersebut dan berkata kepada budak itu: “Aku bebaskan engkau di jalan Allah”.
Budak itu tersenyum. Fathimah r.a. menanyakan mengapa ia tersenyum. 

Ia menjawab:Wahai putri Rasulullah, kalung ini yang membuatku tersenyum. Ia telah mengenyangkan orang yang kelaparan, memberikan pakaian kepada orang-orang yang tak berpakaian, menjadikan orang fakir menjadi kaya, memberikan tunggangan kepada orang yang tidak punya tunggangan, membebaskan seorang budak menjadi merdeka dan akhirnya ia kembali lagi kepada pemilik aslinya”.

Naah coba pikirkan… apakah contoh tersebut kurang mantab?. Harta tidak berkurang dan memberi manfaat buat banyak orang. Coba kita tengok rejeki kita, sudah bisa begitu apa belum. Kalau belum, yaa berarti rejeki iita barang kali belum barokah.

Hadirin Jamaah Jumah Rohiemakumullah.

Kebanyakan, rejeki kita justru ludes tak bersisa manakala dibelanjakan, itupun untuk keperluan yang kadang hanya bermanfaat unutuk diri dan keluarga kita sendiri dan kurang bahkan tidak memberi manfaat buat orang banyak. Bahkan bisa jadi, di saat kita pegang uang sedikit cukup, tapi saat kita pegang duit banyak malah kurang. Pegang duit Rp 100.000,00  ke mall, biasanya cukup. Eeee….begitu pegang uang  Rp 1.000.000,00, eee….kok malah kurang?. Kenapa bisa begitu…? 

Karena di saat kita pegang uang Rp 100.000,00, nafsunya tidak berani macam-macam, sebab duitnya Cuma sedikit. Tetapi begitu kita pegang uang Rp 1.000.000,00,  nafsu kita ikut membengkak, semua macam barang berkelebat ke sana ke mara di mata dan otak kita minta untuk dibeli. Akhirnya begitu dihitung di depan kasir, eee….duitnya ternyata malah kurang.

Nah….hal yang nyata-nyata lebih mudah barokahnya adalah ilmu, asalkan kita tahu bagaimana penggunaannya. Kelebihan ilmu atas harta antara lain adalah, sebagaimana sahabat Ali ra menyatakan bahwa : Ilmu itu menjaga kita, sedangkan harta malah harus kita jaga. Ilmu itu tak akan berkurang manakala dibelanjakan, sedangkan harta berkurang dan bahkan habis manakala dibelanjakan.

Hadirin Jamaah Jumah Rohiemakumullah.
.
Adapun Ciri rejeki yang Barokah selanjutnya atau yang ketiga adalah : Jumlahnya justru bertambah manakala dimanfaatkan atau dipakai. Tentu ini bukan sembarang rejeki dan tidak akan diberikan kepada sembarang orang. Rejeki level ini hanya diberikan bagi mereka yang mau menuruti perintah Sang Maha Pencipta dengan tanpa banyak tanya, mengapa diperintah ini dan mengapa diperintah itu. Mengapa dilarang ini dan mengapa dilarang itu.

Para Nabi banyak diberi rejeki level ini, karena mereka merupakan hamba Alloh yang benar-benar setia dengan perintah dan larangan Allah. Sedangkan selain dari kalangan Nabi sejarah mencatat hanya ada beberapa saja. Meskipun sebenarnya bisa saja kita semua mendapatkan kehormatan dilimpahi karunia mendapat rejeki level ini.

Kita tentu ingat kisah Siti Hajar bersama bayinya, Nabi Ismail as di waktu kecil yang mana waktu itu belum menjadi nabi. Mereka berdua ditempatkan di lembah yang tidak memiliki sarana penghidupan, tandus dan gersang. Saat ditaruh dan ditinggal oleh Nabi Ibrahim a.s dengan tanpa banyak kata, tetapi SIti Hajar hanya bertanya, “Apakah ini perintah Allah wahai Ibrahim?” diulangnya pertanyaan itu sampai 3 kali.

Ketika sampai pertanyaan yang ketiga, barulah nabi Ibrahim a.s menjawab, “Ya, ini perintah Allah.” Kemudian Ibrahim meninggalkan keduanya di tempat yang tandus itu, disertai perkataan isterinya yang pasrah, “Jika memang ini perintah Allah, maka Allah tidak akan menelantarkan kita.”

Dan benarlah keyakinan beliau. Dua orang yang bukan Nabi atau Rasul itu -setidaknya belum- dikaruniai air Zam-zam di saat kebutuhan akan air mendera mereka. Sumber hidup ini dijaga, mengalir terus tanpa henti. Di saat banyak orang meminta, Siti Hajar tidak menguasainya secara eksklusif (hanya untuk diri dan keluarganya), tetapi ia justru mau dan senang berbagi buat semua. Sehingga tidak disangka dan tidak pula diduga, ternyata tempat yang apada awalnya tanpa memiliki sumber kehihidupan itu lantas berubah menjadi hidup dan menjadi sebuah kota besar yang diziarahi jutaan bahkan milyaran orang hingga sekarang, yakni kota Mekkah Al Mukaramah.


Air zam-zam adalah keberkahan, buah ketaatan pada Yang Maha Kuasa. Terus berkah karena sang pemilik mau berbagi. Terus mengalir tanpa habis meskipun telah diminum bermilyar manusia. Bahkan airnya senantiasa bertambah dan terus selalu bertambah dan bertambah.
Hadirin Jamaah Jumah Rohiemakumullah.

Lantas bagaimana dengan negeri kita tercinta Indonesia ini? Bahkan yang dekat di depan mata kita, yakni bagaimana provinsi kita Kaltim ini?

Negeri kita ini dan termasuk provinsi kita Kaltim ini kaya raya akan sumber alam. Namun kalau hasil buminya disedot dengan mengabaikan keberkahan, maka tunggu saja kebinasaannya. Habis dimakan hanya oleh perut-perut tertentu, merupakan sumber tercabutnya keberkahan. Dikuasainya sumber alam secara eksklusif (oleh golongan tertentu), adalah karena rakusnya perut manusia yang laparnya tidak terbendung, kecuali hanya bisa dibendung dengan tanah 2×1 meter, alias kapling kuburan, atau dibendung dengan kematian.

Hadirin Jamaah Jumah Rohiemakumullah.

Kita tentu benar-benar berharap untuk bisa mendapatkan rejeki level ketiga ini. Karena rejeki level ini pantas untuk kita cari bahkan kita buru bila mana perlu. Naah apa syaratnya untuk memburu rejeki level ini? Ternyata syaratnya cuma satu, taati semua aturan Allah tanpa banyak tanya apa lagi protes atau bahkan malah melanggarnya?. Kita tidak pantas bertanya mengapa Allah menyuruh begini dan melarang begitu?, Justru sepantasnyalah nanti kita yang akan ditanya mengapa kita begini dan begitu?.

Yaa kalau kita tanya ini dan itu, masih mau melaksanakan perintah – perintah Alloh dan menjauhi larangan – larangan - Nya, masih sedikit mendingan/ lumayan. Yang repot dan sangat memprihatinkan, sudah banyak tanya, perintah-Nya tidak dilaksanakan justru larangan-Nya yang sering diterjang. Na’uudzubillahi mindzalika.

Hadirin Jamaah Jumah Rohiemakumullah.
  • Selama kita masih banyak cingcong dan ragu apa lagi masih sering melanggar perintah dan larangan Allah SWT ….,
  • Selagi kita masih menganggap bahwa hukum Alloh dan Rasul-Nya itu kejam, hanya cocok diterapkan di negeri Arab saat itu dan tidak cocok lagi diterapkan di jaman modern ini….,
  • Maka pastilah rejeki kita kelasnya tidak akan naik ke level irejeki yang BAROKAH, bisa jadi justru sebaliknya termasuk rejeki yang TERLAKNAT dan MENDATANGKAN BERBAGAI MUSIBAH DAN BENCANA….
Sebagaimana Alloh SWT berfirman dalam QS. Al – A’raf (7): 96, yang menyatakan: “Seandainya penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa (selalu melaksanakan perintah – perintah Alloh SWT dengan tanpa banyak tanya), pastilah Kami akan melimpahkan berkah dari langit dan bumi, tetapi (karena) mereka mendustakan (terlalu banyak tanya dan banyak alasan serta banyak melanggar aturan – aturan Alloh SWT), maka Kami siksa mereka (dengan mendatangkan berbagai musibah dan bencana), disebabkan karena perbuatan mereka”

Baarokalloohu lii walakum fil Qur’anil ‘Adzim. Wanafa’anii waiyyakum minal aayaati wadzikril hakiem. Wataqobballa minni waminkum tilawatahu innaahu Huawal Ghofuuruu Rohiem.

KHUTBAH JUMAH “APA YANG INGIN KITA WARISKAN UNTUK ANAK CUCU KITA?”

DI MASJID NURUL JANNAH LOA JANAN ULU
JUMAT, 8 JUNI 2012 dan MASJID AL-IKHLAS LOA DURI, JUMAT, 22 JUNI 2012
Oleh: Dalyana, S,Pd., M.Pd.

A.    PENDAHULUAN

Alhamdulillah…..
uji dan syukur…..
Sholawat dan salam….
Marilah kita tingkatkan iman dan taqwa……

B.     ISI KHUTBAH


Hadirin Jamaah Jumah, rohiemakumulloh!


Pernahkah kita membayangkan, saat hidup kita tidak lama lagi akan berakhir? Ketika badan kita sedang sudah terbujur di pembaringan, menunggu malaikat maut datang menjemput? Ketika nafas kita sudah tersengal – sengat, tinggal satu-satu? Sata anak, isteri,  para saudara dan handai taulan telah berkumpul mengelilingi kita, dengan perasaan sedih dan harap – harap cemas?

Apa kira-kira yang ingin kita tanyakan kepada mereka sebagai pesan kita yang terakhir untuk mereka? Apakah pesan tentang pembagian harta warisan untuk mereka? Ataukah pesan - pesan tentang hal – hal yang terkait dengan kesenangan dunia yang fana lainnya? Ataukah pesan – pesan tentang, hal – hal yang terkait dengan kehidupan akhirat yang kekal nan abadi?

Hadirin Jamaah Jumah, rohiemakumulloh!

Sekedar mengingatkan dan diharapkan bisa menjadi teladan bagi kita, bagaimana sepenggal kisah Nabi Ya’qub Alaihissalam ketika mengalami saat – saat seperti itu?
Kisah itu telah Allah Subhanahu wa Ta’ala abadikan dalam al-Qur’an:Surah Al – Baqarah: 133, yang menyatakan: "Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Ya’kub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Mahaesa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”. (Al-Baqarah [2]: 133)

Tentu saja Nabi Ya’qub AS, sangat lega hatinya mendengar jawaban tegas dari anak – anak dan cucu - cucunya seperti itu.

Masalahnya sekarang. Adalah: “Bagaimana sekiranya anak – anak dan cucu - cucu kita  kita tanyai dengan pertanyaan yang serupa? Apakah mereka juga akan menjawab dengan jawaban yang serupa pula? Atau sebaliknya? Atau justru kita tidak akan pernah menanyakan kepada mereka tentang hal seperti itu?

Hadirin Jamaah Jumah, rohiemakumulloh!

Tentu saja jika kita menginginkan jawaban dari anak – anak dan cucu – cucu kita dengan seperti itu, tentu tidak bisa kita peroleh dengan gampang. Untuk mendapatkannya kita harus menyiapkan warisan untuk meraeka, bukan semata-mata warisan harta benda, tetapi jugawarisan  ilmu dan amal kebaikan sejak dini kepada anak – anak dan cucu – cucu serta keluarga kita. Bahkan warisan ilmu dan amal kebajikan itulah yang justru lebih penting bagi mereka.

Sebagai gambaran dan pelajaran tentang betapa pentingnya warisan Ilmu ini, dapat kita ambil pelajaran dari sekelumit kisah berikut ini.

Dikisahkan, bahwa dahulu kala, ada seorang raja yang merasa bahwa ajalnya tidak lama lagi akan menjeputnya. Maka ia memanggil ketiga orang anaknya, untuk dianyai tentang warisan apa yang ingin mereka minta sebelum sang raja meninggal? Singkat cerita:
  • Anak pertama meminta warisan berupa harta benda yang sangat banyak,. Maka ia pun diberi harta benda yang banyak, sesuai permintaannya..
  • Anak yang kedua meminta warisan tahta kerajaan yang saat itu dipegang ayahnya, maka diberilah tahta kerajaan itu kepada anak ke duanya.
  • Sedangkan anak yang ketiga bukan meminta warisan harta atau tahta, melainkania meminta warisan ilmu. 
Maka kapadanyapun diberikan sejumlah dana yang cukup untuk mencari ilmu di manapun an sampai kapanpun.

Nah…bagaimanakah kemudian nasib ketiga anak ini?
Setelah sang raja meninggal, harta yang dimiliki anak pertama tadi segera habis. Demikian pula anak yang meminta tahta, mengalami nasib serupa. Tahta itupun terlepas, karena adanya peristiwa kudeta (perebutan kekuasaan). Hanya anak ke tiga, yang memilih ilmu yang bernasib baik. Dengan ilmunya itu ia justru mendapatkan harta yang banyak dan tahta yang tinggi.

Tahukah kita siapa anak ketiga dalam kisah di atas? Ia adalah Nabi Sulaiman Alaihissalam, putra Nabi Daud Alaihissalam, yang kita tahu ia memiliki ilmu yang sangat luas. Dan dengan ilmunya itu pula beliau berhasil mendapatkan harta yang berlimpah dan tahta kerajaan yang tinggi menjulang, dengan cara yang halal dan legal.

Hadirin Jamaah Jumah, rohiemakumulloh!

Sebagai gambaran betapa pentingnya warisan beruma amal sholih, kiranya kisah berikut ini kita ambil sebagai pelajaran. Dikisahkan bahwa dahulu ada seorang kakek tua renta dan sakit-sakitan, sebagai pertanda ajalnya sudah dekat. Meski demikian, ia masih menyempatkan untuk menanam beberapa pohon yang suatu saat nanti buah atau kayu dari pohon itu akan dapat diambil banyak manfaatnya.

Mengetahui hal itu, sang cucu pun heran, lalu mendekati sang kakek yang nampak kecapekan. sehabis menanam beberapa pohon tersebut dan dengan penuh penasaran ia bertanya: “Kek…kakek ini kan sudah tua dan sakit-sakitan lagi. Untuk apa kakek menanam pohon – pohon ini, padahal kakek sudah tahu pasti, bahwa kakek tidak akan dapat memanen buah atau mengambil manfaat dari pohon – pohon yang kakek tanam itu?

Dengan senyum Sang Kakek menjawab: “Cucuku….memang benar bahwa kakek sudah tahu bahwa kakek tidak akan dapat memanen buah atau mengambil manfaat dari pohon – pohon yang kakek tanam ini. Tetapi ketahuilah, bahwa suatu saat nanti, mungkin kalian cucu – cucuku, atau mungkin anak cucumu, atau bahkan mungkin juga orang lain, pastilah akan dapat memanen buah atau mengambil manfaat dari pohon – pohon yang kakek tanam ini. Bagi kakek dan juga mestinya kamu dan cucuku yang lain, selagi kita masih bisa beramal atau berbuat kebajikan, kita mesti berbuat kebajikan itu, tidak usah kita pikirkan apakah kita dapat mengambil manfaat atau keuntungan dari amal atau kebajikan yang kita lakukan? Pastilah suatu saat nanti akan ada yang mengambil manfaat darinya?”

Mendengar jawaban sang kakek seperti itu, sang cucupun mengangguk – angguk tanda setuju, lantas iapun membantu sang kakek menyelesaikan menanam pohon – pohon yang belum selesai ditanam.
Semoga sekelumit cerita di atas dapat menjadi teladan bagi kita dan memotivasi/ mendorong kita untuk tetap selalu melakukan amal kebajikan selagi kita masih bisa melakukannya, tanpa harus berpikir apakah kita akan mendapatkan manfaat atau keuntungan atau tidak dari amal kebajikan yang kita lakukan itu.

Hadirin Jamaah Jumah, rohiemakumulloh!

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah salah orang mengumpulkan harta kekayaan untuk nantinya diwariskan kepada anak cucu dan keluarganya?

Bila mendengar kata ‘warisan’, yang sering terbayang di benak kita adalah peninggalan harta kekayaan orang tua yang telah meninggal untuk anak-anaknya. Bentuknya bisa berupa uang, perhiasan, rumah, tanah, atau surat-surat berharga.


Tidak ada salahnya orang mengumpulkan kekayaan untuk anak keturunannya.
Karena, memang anak keturunan kita membutuhkan pangan, sandang, dan tempat tinggal yang memadai. Jika anak-anak ditinggalkan dalam keadaan miskin tentu sulit meraih kesejahteraan. Bila sekadar makan sendiri saja tak sanggup memenuhinya, bagaimana bisa ia memberi manfaat kepada orang lain? Bisa jadi malah menjadi beban orang lain.

Di samping itu, secara fitrah, setiap orang tua memang ingin generasi pelanjutnya hidup berkecukupan. Bahkan harapannya, anak keturunannya itu bisa hidup lebih baik dan lebih mulia dari dirinya. Dengan harta peninggalan itulah anak-anak diharapkan akan bisa hidup dalam kemudahan.


Kita sendiri bisa menikmati hidup ini karena jasa orang tua kita dahulu. Hanya orang egois yang menyimpang dari fitrahnya saja tidak memikirkan keturunannya. Betapa berdosanya kita jika meninggalkan generasi yang lemah dan miskin.

Karena itulah, kita jangan menghabiskan kekayaan dengan berfoya-foya untuk dinikmati sendiri saja, tetapi harus menyiapkan juga untuk anak cucu kita warisan yang membuat mereka bisa bermanfaat bagi sesamanya.

Bahkan Allah Ta’ala melarang kita meninggalkan anak keturunan yang lemah, baik secara fisik, ekonomi maupun secara ruhani. Sebagaimana Ia berfirman:dalam QS. An – Nisa (4) : 9, yang menyatakan:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka”. (An-Nisa’ [4]: 9)

Namun hendaknya diingat, bahwa harta warisan yang kita tinggalkan itu, haruslah benar – benar harta yang halal, baik halal dzatnya maupun halal cara memperolehnya. Di samping itu juga harus disertai dengan warisan ilmu dan amal.

Mengapa demikian?

Sebab, harta warisan yang haram di samping akan menyebabkan pemiliknya masuk neraka, juga akan berpengaruh besar terhadap peri laku/ akhlaq dan juga nasib kehidupan di dunia selanjutnya. Kita bisa saksikan, berapa banyak anak cucu pejabat tinggi yang terjerumus ke dalam kasus NARKOBA dan kejahatan lainnya? Kemungkinan besar itu sabagai akibat apa yang ia makan dan nikmati dalam keseharian adalah harta yang diperoleh dengan cara yang haram, seperti hasil korupsi, misalnya.

Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW dalam salah satu haditsnya yang menyatakan: “Barang siapa yang dagingnya tumbuh dari makanan dan minuman yang haram, maka baginya tiada lain kecuali tempatnya di neraka” (Al-Hadits).

Di samping itu, jika harta warisan yang kita tinggalkan tidak disertai warisan ilmu dan amal kebaikan, bisa jadi justru harta warisan tersebut akan menjadi bumerang.

Harta kekayaan tanpa ilmu dan amal kebaikan, ibarat senjata yang tak terarah. Bisa jadi harta itu digunakan di jalan kemaksiatan. Bila itu yang terjadi, kita tentu terkena imbas dosa yang dilakukan anak cucu kita. Kiranya hal seperti ini banyak contoh yang terjadi di sekeliling kita.

Tetapi jika kita mewariskan kebaikan pada anak keturunan kita, maka kita juga akan memanen pahala yang mengalir (amal jariyah) meskipun kita telah meninggal dunia. Sebagaimana Nabi Muhammad bersabda dalam salah satu haditsnya yang sangat terkenal:
“Apa bila anak cucu Adam meninggal, maka terputuslah segala amalnya, kecuali tiga perkara, yaitu: shodaqoh jariyah, atau ilmu yang dapat diambil manfaatnya, atau anak sholih yang mau mendoakaanya” (Al – Hadits).

Hadirin Jamaah Jumah, rohiemakumulloh!

Orang yang cita-citanya hanya mewariskan harta, biasanya selalu berpikir, “Berapa banyak yang bisa saya kumpulkan?”
Begitu rakusnya, ia bahkan berharap bisa mengumpulkannya untuk tujuh turunan. Sehingga cara haram pun akan ditempuh bahkan harta karib dan saudarapun ia sikat, demi untuk mewujudkan impiannya.

Sementara itu, ia tidak pernah mau berpikir, “Berapa banyak yang bisa saya berikan?” Ini karena ia tidak punya kemauan beramal kebaikan. Kalau pun ia beramal kebaikan dengan infaq dan sedekah misalnya, mungkin dari hasil yang haram, yang hakekatnya bukanlah amal kebaikan, karena hanya sekadar untuk menutupi kejahatannya.

Akibatnya, saat ia meninggal, mungkin banyak harta yang diwariskan. Namun, jusru anak keturunannya bertengkar karena memperebutkan harta warisan itu.
Sungguh kasihan orang seperti ini. Ia bekerja keras banting tulang sepanjang waktu, namun setelah harta terkumpul, justru menjadi sumber fitnah. Jangan berharap pahala terus mengalir ketika kita sudah berada di alam kubur, justru aliran dosa tak bisa terbendung sebagai akibat kita tidak meninggalkan warisan kebaikan.


Karena itu, di samping harta dunia yang halal, kita harus mewariskan ilmu dan amal pada anak-anak dan cucu – cucu kita. Harta yang banyak akan membawa kebahagiaan jika disertai dengan ilmu dan amal. Jangan sampai warisan harta yang banyak justru memakan korban tuannya sendiri atau Si Pemilik harta itu sendiri.

C.     PENUTUP

Hadirin Jamaah Jumah, rohiemakumulloh!

Demikianlah khutbah siang ini, semoga dengan paparan tadi, akan mengingatkan dan memotivasi/ mendorong kita untuk mempersiapkan warisan kepada anak cucu kita berupa: harta yang halah yang disertai dengan, ilmu dan amal kebajikan yang bermanfaat, Amien Yaa Robbal ‘Alamien.

Baarokalloohu lii walakum fil Qur’anil ‘Adzim. Wanafa’anii waiyyakum minal aayaati wadzikril hakiem. Wataqobballa minni waminkum tilawatahu innaahu Huawal Ghofuuruu Rohiem.